Geliat Sekolah Menanam dan Merawat Benih Perdamaian oleh Solo Bersimfoni dan Peace Generation
Solo Bersimfoni dan Peace Generation menjadi host pada satu sesi diskusi dalam Konferensi WGWC dengan judul Apa Kabar Pendidikan Kita? Geliat Sekolah Menanam dan Merawat Benih Perdamaian pada Senin, 6 Mei 2024 di Ruang Nagamas, Prime Plaza Hotel Purwakarta. Irfan Amalee, co-Founder dan Direktur Peace Generation dan M Farid Sunarto, Direktur Eksekutif Solo Bersimfoni, menjadi narasumber sedangkan Alimul Muniroh, Rektor IAI Tabah serta Fanny Syariful Alam, Koordinator Regional Sekolah Damai Indonesia, menjadi pembahas. Acara ini dimoderatori oleh Lindawati Sumpena, Learning & Product Development Manager Peace Generation.
Dalam diskusi ditemukan beberapa tantangan dalam pendidikan yaitu intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme. Hal ini ditemukan dalam ragam riset, misalnya pada riset SETARA Institute (2023) menyebutkan bahwa terdapat peningkatan pelajar dalam kategori intoleran aktif sebanyak dua kali lipat selama tujuh tahun terakhir. Di sisi lain, tantangan polarisasi juga makin nyata dengan berkembangnya media sosial. Polarisasi ini memperkuat kerentanan masyarakat, apalagi jika sebelumnya telah ada prasangka dan tidak adanya ruang perjumpaan untuk membuat kontak bermakna antar identitas yang berbeda.
Selain itu, adanya pengaruh alumni pada pelajar tidak dibarengi dengan mekanisme kontrol dan monitoring dari sekolah sehingga membuat pelajar rentan disusupi paham radikalisme. Bukan hanya pada skeolah menengah, kontrol pencegahan pada siswa PAUD/TA/TK masih belum banyak dilakukan, padahal semakin muda usia anak, semakin mudah dia dimasuki paham radikal. Adanya pemahaman pada sebagian orang tua yang menganggap bahwa sekolah adalah tempat pembentukan karakter secara instan sehingga memberikan beban pengasuhan keseluruhan pada sekolah. Padahal, edukasi seyogyanya dilakukan sebagai sebuah intervensi yang sistemik. Artinya, peran sekolah, keluarga, komunitas, lingkungan pergaulan, dan masyarakat perlu berperan dalam membentuk karakter damai. Contoh yang dilakukan adalah intervensi pendidikan di Yayasan Sukma Bangsa dan Peacesantren Welas Asih.
Upaya pemerintah dalam bina damai adalah dengan mengeluarkan isu krusial di dalam pendidikan melalui pernyataan tiga dosa besar di pendidikan, yakni intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual. Selain itu, pemerintah memberikan ruang bagi sekolah untuk dapat menumbuhkan karakter siswa secara kreatif, inovatif, dan terstruktur melalui P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) pada Kurikulum Merdeka di sekolah.
Praktik Baik NGO
Solo Bersimfoni melakukan praktik baik untuk mempromosikan karakter damai lewat Hasthalaku pada model Sekolah Adipangastuti. Model ini diintegrasikan dengan kebijakan Implementasi Kurikulum Merdeka sebagai ko-kulikuler. Selain itu, upaya tersebut disinergikan dengan implementasi RAN PE.
PeaceGeneration Indonesia melakukan praktik baik dalam mempromosikan kontak bermakna antar identitas melalui ruang perjumpaan dan media kreatif. Selain itu, dalam memperluas khazanah pengetahuan dan cerita dalam upaya PCVE, PeaceGen meluncurkan K-Hub PCVE Outlook dengan tema Ensiklopedia Modul Pendidikan Perdamaian di Indonesia. Produk riset kreatif ini mengulas pembelajaran dari 16 modul yang dikembangkan oleh OMS. Salah satu temuan penting dari riset tsb adalah masih minimnya perspektif gender dimasukan dalam modul. Upaya bina damai dilakukan sejalan dengan upaya mempromosikan kesetaraan gender melalui penyediaan bahan ajar (modul) berperspektif gender serta mendorong partisipasi perempuan sebagai juru damai.
Beberapa rekomendasi bina damai juga disampaikan oleh peserta, seperti pentingnya melihat upaya bina damai dalam kacamata keadilan sosial, bukan hanya isu keberagaman yang terfragmentasi (beda agama, beda suku, beda identitas lainnya). Kemudian pentingnya membangun upaya bina damai yang menyeluruh melalui pendidikan, tidak hanya di institusi pendidikan formal (sekolah, kampus) namun juga ruang-ruang pendidikan lain seperti keluarga, komunitas, dan masyarakat. Tidak hanya melibatkan aktor guru yang dianggap bersinggungan dengan isu, namun juga guru mata pelajaran lain.
Selain itu, upaya NGO dalam bina damai perlu berjalan beriringan dengan pemerintah. Dalam hal kebijakan, telah banyak kebijakan yang diupayakan, peran NGO sentral dalam memastikan penerjemahan dan implementasi konkrit dari kebijakan Pendidikan. Terakhir, pentingnya memasukan perspektif gender dalam penyusunan bahan ajar dan strategi intervensi di lingkungan pendidikan untuk mendorong keterlibatan bermakna perempuan dalam upaya bina damai.
Penulis : Tia Brizantiana