“Hasthalaku di Tengah Krisis, Itu Perlu”
The Godfather of Broken Heart, Didi Kempot mengadakan “Konser dari Rumah” yang disiarkan langsung stasiun Kompas TV (Sabtu, 11 April 2020). Acara ini sukses berat menggerakkan para Sobat Ambyar untuk berdonasi yang hasilnya akan digunakan untuk membantu masyarakat yang terdampak Covid 19. Dari rentang waktu 19.00-22.00WIB, terkumpul donasi Rp 4 miliar lebih. Sungguh nominal yang sangat fantastis.
Saking banyaknya penyumbang, server kitabisa.com sebagai platform pengumpulan donasi, sempat bermasalah. Namun saat pengiriman donasi dialihkan ke salah satu rekening bank, wuiihh… wuss wusss wusss uang masuk mengalir. Perhelatan “Konser dari Rumah” ini diselingi pula pesan agar para perantau tidak mudik ke kampung halaman. Satu imbauan yang dikeluarkan pemerintah untuk menghentikan laju Covid 19. Tak pelak, konser pakdhe-nya Sobat Ambyar ini mendapat apresiasi langsung dari Presiden Joko Widodo melalui telewicara jaringan telepon.
Beberapa waktu terakhir banyak kita temui para tokoh publik, artis, penyanyi, pelaku seni, influencer, selebgram; yang melakukan ajakan sekaligus gerakan pengumpulan donasi yang berhubungan dengan Covid 19. Mereka melakukannya dengan cara-cara yang kreatif, menarik, tanpa melanggar aturan pencegahan Covid 19. Satu fenomena yang sebenarnya cukup wajar—dalam arti sering dijumpai kegiatan bertema pengumpulan bantuan—namun menjadi istimewa karena dilakukan dalam “kondisi luar biasa.” Banyak manusia terdampak serangan virus ini, banyak orang maha galau, remang-remang menatap besok hari. Dalam situasi itu, para tokoh itu tak kehilangan hati nuraninya. Jati diri bangsa Indonesia berpijar nyata dalam hal ini.
Keberadaan tokoh panutan yang jelas rekam jejaknya menjadi motor penggerak masyarakat, minimal bagi “basis massa atau fans” mereka. Kemampuan tokoh panutan membangun narasi positif menjadi senjata ampuh membuka hati nurani orang lain. Narasi yang dibangun dengan pemilihan bahasa yang santun, mengajak tanpa memaksa, disertai data fakta yang valid, dibalut kemeriahan sesuai ciri khas masing-masing, membuat orang tak enggan berdonasi. “Monggo…sing penting ikhlas. Niku langkung berkah.” Kalimat itu sering diucapkan Didi Kempot di sela sela konsernya. Dan yang paling sering juga diucapkan ” Matur nuwun sanget kagem panjenengan sedaya” . Kesantunan dalam balutan budaya Jawa terasa meresap ke hati.
Delapan Perilaku
Masyarakat Indonesia sejatinya masih menjunjung tinggi nilai luhur bangsanya. Dalam kultur budaya Jawa kita mengenal nilai hasthalaku (delapan) perilaku). Nilai luhur budaya Jawa yang dikenal dengan hasthalaku terdiri dari : (1). Gotong royong (saling membantu – Helpfulness), (2) Guyup rukun (kerukunan – Harmony),(3) Grapyak semanak (ramah tamah – Friendly), (4) Lembah manah (rendah hati – Humble),(5) Ewuh pekewuh (saling menghormati – Mutual Respect), (6) Pangerten (saling menghargai – Compassionate), (7) Andhap Anshor (berbudi luhur – Virtuous), dan (8) Tepa Selira (tenggang rasa – Solidarity).
Nilai-nilai luhur masyarakat Jawa ini dikampanyekan kembali sebagai bagian dari cara hidup bermasyarakat, terlebih menghadapi krisis yang berat ini. Salah satunya Perkumpulan Solo Bersimfoni. Solo Bersimfoni adalah sebuah organisasi masyarakat yang berada di kota Solo yang memiliki tujuan meningkatkan perdamaian (raise of peace) untuk menjaga reputasi Solo Raya sebagai wilayah yang toleran dan anti kekerasan. Melalui pemahaman dan penerapan Nilai Hasthalaku, Solo Bersimfoni berharap masyarakat semakin sadar, mau peduli dan berpartisipasi untuk terlibat aktif dalam upaya pencegahan secara dini tindakan intoleran dan radikal yang tepat sasaran untuk memperoleh hasil maksimal.
Saya yakin para inisiator dan donatur dalam kegiatan amal di masa krisis yang marak saat ini, mereka tak akan bertanya dulu apa latar belakang agama, suku, ras, warna kulit, pandangan politik; dari masing-masing yang terlibat atau yang akan mendapatkan bantuan. Mereka tak menganggap penting hal itu.
Dalam diri mereka yang lebih membuncah berupa semangat saling membantu (gotong royong), dengan mengedepanan kerukunan (guyup rukun), menebalkan semangat saling menghargai (pangerten), dan menjunjung tinggi nilai tenggang rasa (tepa selira).
Kepekaan dan kepedulian masyarakat Indonesia teruji dalam situasi kondisi saat ini. Memang tak harus berupa aktivitas mengeluarkan uang melalui kegiatan donasi. Nilai Hasthalaku dapat dibumikan dalam bentuk apapun, di manapun, dengan siapapun, dalam kondisi apa pun.
Seperti yang disampaikan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, melalui saluran Instagram dan Youtube, dalam menghadapi wabah Covid 19 dibutuhkan kebersamaan dalam bentuk yang paling sederhana, seperti saling berbagi makanan, membantu jika ada yang kesusahan, kerja bakti, ronda malam; itu bentuk nyata dari gotong royong. Guyup rukun memastikan situasi tetap nyaman dan selalu aman terkendali, termasuk aksi nyata yang dibutuhkan dalam menghadapi Covid -19.
Nilai pangerten dapat kita lihat dan lakukan dari kemauan dan kemampuan menjalankan lebih banyak aktivitas dari rumah (bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah). Tidak belanja kebutuhan pokok dan barang-barang secara berlebihan; itu juga pangerten namanya. Dengan mau menggunakan masker kemana saja itu namanya tepa selira, karena ada kemauan tidak saling menebar virus yang mungkin kita bawa. Beretika saat batuk dan bersin, itu juga bentuk tepa selira.
Sejak wabah Covid 19 mulai merebak, gerakan social distancing dan diikuti dengan physical distancing merupakan salah satu pengejawantahan nilai pangerten dan tepa selira. Jika kita mau dan mampu melakukan gerakan tidak mudik ke kampung halaman maka kita telah sukses menjalankan nilai pangerten dan tepa selira.
Para tokoh publik yang berhasil menggalang simpati dan donasi dari khalayak luas, karena mereka juga telah menerapkan nillai-nilai luhur masyarakat Jawa tersebut. Membangun narasi yang positif, bertutur kata yang menyenangkan.Mereka telah bersikap grapyak semanak.
Segala daya upaya telah dilakukan, segala aturan anjuran telah dibuat, segenap ajakan gerakan telah dijalankan dalam mencegah dan menghadapi virus mematikan ini. Kita sempurnakan ikhtiar bersama ini dengan membekali diri menjadi pribadi yang tangguh dan tanggap. Satu bekal yang telah tersedia dengan membawa nilai luhur bangsa melalui Hasthalaku dalam keseharian kita.
“Para Sobat Ambyar ingkang kinasih…Matur nuwun sanget kagem panjenengan sedaya,” tutur Didi Kempot saat menutup konser amal disertai senyum manis nan tulus.
Duh siapa bisa menolaknya…
Penulis : Provita Niekeen Chrisdiyana
Tulisan ini pernah dimuat di harian Solopos pada tanggal 5 Mei 2020 dengan judul “Tepa Selira di Tengah Krisis”