Close

September 4, 2025

Provokasi Jalanan dan Keteladanan Nabi; Saatnya Belajar Menahan Diri

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW bukan hanya seremoni kelahiran, tetapi sebagai momentum refleksi moral. Rasulullah lahir dan hidup di tengah masyarakat yang keras, penuh konflik, serta ketidakadilan. Namun beliau tidak pernah memilih jalan provokasi atau kekerasan. Jalan yang ditempuh adalah kesabaran, doa, kasih sayang, dan strategi penuh hikmah. Teladan inilah yang relevan untuk direnungkan di tengah kondisi bangsa hari ini.

Belakangan, kita menyaksikan gelombang demonstrasi yang dipicu berbagai isu, termasuk fenomena “17+8 Tuntutan Rakyat”. Gerakan ini terdiri dari 17 tuntutan jangka pendek yang diminta dipenuhi dalam sepekan, dan 8 tuntutan jangka panjang dengan tenggat satu tahun. Poin-poinnya beragam: pembatalan kenaikan tunjangan DPR, penghentian kekerasan aparat, pembebasan demonstran yang ditahan, reformasi Polri dan TNI, hingga pengesahan RUU Perampasan Aset.¹ ²

Tuntutan tersebut lahir dari kegelisahan publik atas ketidakadilan dan represi, yang diperparah oleh tragedi kemanusiaan. Nama Affan Kurniawan, pengemudi ojek daring berusia 21 tahun, menjadi simbol luka sosial setelah ia tewas terlindas kendaraan taktis Brimob jenis Rimueng di depan Gedung DPR/MPR Jakarta pada 28 Agustus 2025. Affan terjatuh ketika hendak mengambil ponsel, lalu terlindas rantis Brimob yang melaju di tengah kerumunan. Peristiwa ini terekam video, menyulut kecaman keras, serta memicu gelombang solidaritas dari komunitas ojek daring dan publik luas.³

Luka semacam ini membuat tuntutan rakyat semakin mendesak. Namun, persoalan muncul ketika aspirasi sah mudah sekali ditunggangi provokasi. Alih-alih mempercepat perubahan, provokasi justru mengaburkan tujuan, menebar kericuhan, dan melemahkan solidaritas rakyat.

Di titik inilah, teladan Nabi menjadi relevan. Rasulullah mengajarkan bahwa perjuangan besar memerlukan jeda. Jeda bukan berarti berhenti, melainkan menahan emosi, menyaring informasi, serta menyiapkan strategi yang lebih matang. Tanpa jeda, aspirasi rakyat hanya meledak sesaat lalu padam tanpa hasil nyata.

Selain itu, kita perlu meneguhkan semangat “warga jaga warga”. Solidaritas sosial adalah benteng agar masyarakat tidak mudah dipecah belah. Ketika rakyat saling menjaga, saling peduli, dan saling mengingatkan, ruang provokasi semakin sempit. Sebaliknya, jika solidaritas rapuh, pihak berkepentingan akan mudah menyusup.

Di ranah budaya, gagasan Hasthalaku yang digagas Solo Bersimfoni sangat relevan. Hasthalaku berasal dari kata hastha (delapan) dan laku (perilaku), berisi delapan nilai luhur budaya Jawa: gotong royong, grapyak semanak (ramah tamah), guyub rukun (kerukunan), lembah manah (rendah hati), ewuh pekewuh (saling menghormati), pangerten (saling menghargai), andhap asor (berbudi luhur), serta tepa selira (tenggang rasa). Jika nilai-nilai ini dihidupkan, aspirasi rakyat dapat disuarakan tanpa kehilangan martabat, dan demonstrasi tak harus berujung anarki.

Bangsa ini tidak boleh terjebak dalam spiral provokasi jalanan. Aspirasi rakyat, termasuk tuntutan 17+8, sah dan harus didengar. Namun jalan yang ditempuh mesti beradab, strategis, dan bermartabat. Momentum Maulid Nabi mengingatkan kita bahwa perubahan sejati lahir dari kesabaran, jeda, dan persatuan.

Provokasi adalah jalan buntu. Yang dibutuhkan adalah kekuatan rakyat yang solid dan berlandaskan nilai luhur. Panjang umur perjuangan.

Referensi:

¹ Tirto.id. (2025, 3 September). Isi 17+8 Tuntutan Rakyat yang Disuarakan dalam Aksi Demonstrasi.

² CNN Indonesia. (2025, 4 September). Mengurai Tuntutan Rakyat 17+8, Dari Tunjangan DPR hingga UU Perampasan Aset.

³ Tempo.co. (2025, 29 Agustus). Affan Kurniawan Tewas Dilindas Mobil Brimob Karena Terjatuh Saat Ambil Ponsel.

Detik.com. (2025, 30 Agustus). Kasus Ojol Affan Tewas Dilindas Rantis Brimob Dilimpahkan ke Bareskrim.

Solo Bersimfoni. (2020). Makna Hasthalaku: Delapan Laku Hidup Luhur untuk Membangun Harmoni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *