Tepa Selira, Milik Anak atau Orang Tua?
Sebuah gambar muncul di layar gawai saya saat membuka status whatsapp teman yang juga berprofesi sebagai guru. Gambar berbentuk piagam elektronik tersebut berhasil menyita perhatian saya.
“Piagam Penghargaan diberikan kepada seluruh orang tua/wali murid sebagai Guru Terbaik dalam mendampingi belajar Ananda tercinta di rumah selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), semoga menjadi amal kebaikan untuk kita semua. Setiap kita adalah guru, Setiap rumah menjadi sekolah”. Demikianlah bunyi kalimat bijak bestari penuh makna yang saya baca dan seketika memunculkan rasa haru di benak saya. Kata-kata “Guru Terbaik” layaknya sebuah gelar yang disematkan sebagai bentuk apresiasi sekolah terhadap orang tua tentang peran pentingnya selama Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) melalui PJJ.
Kita tentu mahfum bahwa sejak Pandemi COVID-19 menghantam berbagai aspek kehidupan tak terkecuali pendidikan, proses belajar peserta didik mengalami perubahan drastis. Untuk menanggulangi bahaya penyebaran COVID-19 maka pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayan mengeluarkan panduan penyelenggaraan pendidikan. Kegiatan pembelajaran tatap muka di berbagai jenjang pendidikan terutama di zona merah dan kuning masih belum diperbolehkan.
Sebagai implikasinya, pelaksanaan kegiatan belajar dari rumah dapat dilakukan dengan dua cara, dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring). Pembelajaran daring dilakukan melalui metode tatap muka virtual (teleconference) dan dengan menggunakan sistem pengelolaan pembelajaran terintegrasi yang dikenal dengan aplikasi Learning Management System (LMS).
Jika sebelumnya orang tua tidak ikut berkontribusi secara langsung dalam proses pembelajaran, maka kini peran orang tua tidak bisa dilepaskan begitu saja. Tak hanya sebagai penyedia perangkat belajar yang dibutuhkan seperti laptop maupun gawai dan pemasok kuota internet bagi anaknya, namun orang tua dituntut untuk benar-benar “hadir” dalam PJJ yang dilakukan anak-anaknya ketika di rumah. Pada situasi seperti inilah nilai hasthalaku tepa selira penting diejawantahkan dalam proses pembelajaran.
Lalu diantara orang tua dan anak, siapakah yang seharusnya memiliki rasa tepa selira pada saat PJJ ini? Mungkin dalam pemikiran banyak orang khususnya masyarakat Jawa, tepa selira menjadi semacam nilai wajib yang harus dimiliki anak muda baik kepada orang tuanya maupun kepada orang lan yang lebih tua. Anak dituntut untuk mengerti bagaimana beratnya menjadi orang tua. Kerap kali orang tua menunjukkan sikap otoriter untuk mengatur sedemikian rupa bagaimana seorang anak harus menjalani kehidupannya, berdasar postulat bahwa orang tua memiliki tanggung jawab dan kewajiban mengarahkan masa depan anak-anaknya sesuai apa yang mereka inginkan.
Kita sering terjebak dalam cara pandang dikotomis tentang siapa diantara anak dan orang tua yang seharusnya menerapkan nilai tepa selira. Apakah hanya anak yang seharusnya bertepa selira kepada kedua orang tuanya, atas nama rasa hormat kepada sosok yang telah melahirkan dan membesarkannya? Atau sebaliknya orang tua yang mencontohkan nilai tersebut kepada sang anak?
Mari kita amati fenomena di sekitar kita. Begitu seorang bayi terlahir ke dunia maka doa-doa dari setiap mulut terucap agar sang anak kelak menjadi orang yang membanggakan dan membahagiakan orang tuanya. Lalu bagaimana dengan kewajiban orang tua itu sendiri untuk memberikan hak anaknya agar hidup bahagia dan meraih keberhasilannya? Seorang anak lahir ke dunia bukan atas keinginannya sendiri. Orang tualah yang menginginkan dan memiliki andil besar sehingga mereka hadir di dunia ini. Anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik untuk menjadi penerus generasi mereka sebagai pewaris peradaban di masa depan.
Kembali lagi kepada peran orang tua dalam PJJ. Pembelajaran daring memunculkan banyak persoalan yang cukup signifikan. Peran guru dan tenaga pengajar yang semula menjadi satu-satunya fasilitator belajar ketika di sekolah harus tergantikan, sebagai akibat bergesernya proses pembelajaran dari ruang kelas ke rumah. Kondisi ini mau tidak mau menjadi tantangan bagi orang tua untuk selalu siap dengan segala hal baru. Bukan hanya menjawab berbagai pertanyaan mengenai materi pelajaran yang belum tentu mereka kuasai, namun juga terkait kemampuan penggunaan media digital dalam pembelajaran. Sementara tidak semua orang tua memiliki kecakapan dalam mengoperasikan perangkat dalam PJJ. Pergeseran proses pembelajaran dari tatap muka menjadi daring tak sekedar memberikan permasalahan lompatan digital yang dialami peserta didik, penggunaan perangkat dan akses media di internet terutama pada usia anak-anak pun tak lepas dari pendampingan dan pengawasan orang tua.
Media yang diakses oleh anak-anak akan memberikan dampak bagi perkembangan psikologisnya. Di sinilah peran orang tua benar-benar menjadi vital dalam mendampingi anak-anaknya selama proses PJJ berlangsung. Namun timbul permasalahan ketika orang tua juga harus menjalankan kewajiban lainnya untuk bekerja, baik di luar maupun di dalam rumah (Work From Home). Fokus orang tua harus terpecah untuk menyelesaikan pekerjaannya sembari mendampingi putra-putrinya belajar. Meski demikian mau tidak mau mereka harus membagi tenaga dan waktu untuk bekerja demi menjaga roda ekonomi keluarganya tetap berputar.
Persoalan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga dari kalangan menengah ke bawah juga menjadi penyebab kurangnya sinergi orang tua dan peserta didik dalam PJJ. Tuntutan untuk mencukupi kebutuhan dibarengi dengan kondisi yang tidak menentu akibat gempuran COVID-19 menjadi permasalahan yang banyak ditemui di masyarakat. Masalah ekonomi yang datang karena berkurangnya pendapatan hingga PHK akibat pengurangan tenaga kerja bertransformasi menjadi masalah psikologis. Kewajiban mendampingi belajar anak-anaknya dan menjadi pengganti guru di rumah membuat sebagian orang tua merasa semakin terbebani secara psikis. Tanpa menghadirkan rasa tepa selira untuk melewati semua ini, maka situasi bisa menjadi semakin tak menentu, ambyar…berantakan. Pada beberapa orang tua dengan tingkat stress tinggi, alih-alih memberikan pendampingan kepada anak-anaknya, mereka justru menjadikan anak sebagai objek kekerasan. Bahkan beberapa waktu lalu media memberitakan kasus tindakan kekerasan hingga pembunuhan oleh orang tua kepada anaknya sendiri akibat kuwalahan mengatasi kendala dalam PJJ. Kejadian tersebut tentunya menjadi catatan kelam PJJ di tengah pandemi yang mencederai nurani kita.
Beberapa orang tua yang masih terbawa oleh pemikiran jaman dahulu sulit memahami kebutuhan peserta didik di masa kini. Jika orang tua membandingkan gaya belajar peserta didik di masa sekarang dengan masa dimana mereka masih menjadi pelajar dahulu pastinya akan terdapat gap yang cukup jauh, sehingga sinergi dan kolaborasi siswa dan orang tua dalam menciptakan PJJ yang kondusif sulit tercapai. Bisa jadi, orang tua dengan pemikiran old fashioned menganggap anak-anaknya hanya nongkrong tanpa tujuan ketika mereka mendapati anaknya berlama-lama di Coffee shop atau workspace. Padahal saat ini banyak remaja yang menghabiskan waktu di tempat-tempat semacam itu bukan hanya untuk sekedar nongkrong namun mereka memanfaatkan fasilitas yang ada di sana untuk belajar.
Selain nyaman, tempat-tempat tersebut biasanya juga dilengkapi dengan jaringan internet atau wifi yang bisa dinikmati secara grartis untuk menunjang kebutuhan belajar. Seperti browsing, upload tugas atau edit video. Mereka bisa duduk di sana berjam-jam sambil mengerjakan tugas atau menghasilkan karya meskipun mungkin hanya dengan bermodalkan segelas minuman dan makanan ringan saja. Perubahan jaman yang cepat ini menuntut orang tua untuk terus mengetahui perkembangan anak-anak mereka terkini, mulai dari gaya hidup, pergaulan hingga adaptasi dengan digitalisasi pendidikan. Tepa selira mampu menjembatani jurang yang bisa tercipta antara anak dan orang tua.
Sudah saatnya orang tua memiliki kesadaran penuh untuk bersinergi bersama anak-anak mereka dalam proses pembelajaran di rumah. Bukan sekedar hadir secara fisik mendampingi sang anak, namun juga memberikan motivasi dan menjalin komunikasi yang hangat dengan penuh perhatian. Saling bertepa selira adalah sebuah kunci dan harapan sejuk agar sinergi orang tua dan anak tetap terjaga dengan dinamis seperti alunan musik dengan nada yang beriringan, bersimfoni membawa keindahan dan kedamaian.
Dengan adanya sinergi yang harmonis antara orang tua dan peserta didik, maka PJJ yang pada awalnya dilakukan dengan tujuan untuk memutus rantai penyebaran virus ini juga bisa menjadi alternatif pembelajaran yang sama efektifnya dengan pembelajaran tatap muka.
Apabila nanti pandemi ini telah berlalu, maka kita bisa berharap banyak pada PJJ untuk menjadi media belajar yang tak kalah dari pembelajaran tatap muka dari segi efisiensi waktu dan biaya. Terlebih lagi saat ini meskipun tahun sudah berganti namun belum ada tanda-tanda COVID-19 akan segera pergi. Pembelajaran tatap muka yang rencananya akan dilakukan di awal tahun terpaksa ditunda hingga waktu yang belum bisa dipastikan.
Dengan sikap tepa selira yang terjaga dari anak dan orang tua, belajar daring selama pandemi bisa tetap dilakukan tak terbatas ruang dan waktu. Pembelajaran tetap bermakna dan penuh rasa pengertian. Cita-cita Merdeka Belajar bagi siswa dapat benar-benar tercapai.
Kahlil Gibran pernah berkata dalam penggalan syairnya :
“Anakmu bukan milikmu, mereka adalah putra putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri.”
Sebagaimana Ali bin Abi Thalib telah mengajarkan ilmu parenting sejak dahulu dengan sebuah pesan :
“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”
Orang tua menjadi salah satu support system bagi anaknya agar tetap mendapatkan hak belajar yang layak meski berada di tengah krisis. Di tangan mereka hendaknya nilai tepa selira terus terjaga agar orang tua bisa menjadi menjadi guru terbaik bagi anak-anaknya.
Penulis : Asri Pujihastuti
Guru SMKN 7 Surakarta