Close

June 3, 2021

MANA BUDAYA KITA

MANA BUDAYA KITA

Indonesia memiliki budaya yang beragam. Tiap propinsi memiliki budaya masing-masing. Jawa tengah yang terdiri dari 35 kabupaten/kota tentu memiliki 35 kekhasan daerah masing-masing. Kekayaan budaya yang kita miliki tak perlu diragukan lagi. Bila ingin mengadakan dialog pengembangan perbedaan dan keragaman budaya kita tidak akan kekurangan bahan obrolan saat mengulik budaya di sekitar kita. Untuk bisa berdialog tentang keragaman tentunya kita harus memahami budaya kita sendiri, budaya dimana kita berpijak atau budaya dimana kita terlahir. Pemahaman tentang kebudayaan sendiri sayangnya hanya terhenti pada seremonial, nilai budaya yang lebih banyak tersembunyi pada lambang-lambang benda yang digunakan saat upacara adat masih tersimpan belum banyak diketahui.

Penjagaan budaya saat ini dilakukan dengan berbagai cara. Namun cara yang ditempuh sepertinya belum menyentuh generasi muda untuk mencintai budaya sendiri. Hal ini tampak dari minimnya kunjungan ke museum sebagai salah satu sumber belajar budaya. Narasi yang dicetuskan anak-anak milenial masih sedikit yang mengulik secara mendalam tentang kebudayaan sendiri.  Di tempat saya mengajar ekstrakurikuler budaya jepang lebih diminati dari pada ekstra kurikuler karawitan atau tari tradisional jawa. Sebuah ironi karena kita berada di jantung pusat kebudayaan jawa, dan mereka memilih mengikuti ekstrakurikuler budaya negara lain. Kita tidak begitu saja menyalahkan mereka, mereka berbuat seperti itu karena sungguh mereka tidak tahu betapa menariknya kebudayaan kita. Media berpengaruh besar kepada ketertarikan seseorang. Saat ini media lebih memilih menampilkan drama dari belahan dunia lain dibanding mengangkat cerita asli dari kebudayaan sendiri. Pada pelajaran yang mereka dapat di sekolah mereka hanya mendapatkan cerita monoton yang diulang sejak SD hingga ia besar. Tentunya kaum milienial itu akan bosan, mereka juga tidak memiliki referensi lain tentang cerita asli Indonesia.

Perlu berbagai pendekatan agar milenial ini kembali mencintai budaya sendiri, mereka bukan tidak cinta hanya tidak tahu. Semacam tak kenal maka tak sayang, seperti itulah generasi muda pada budayanya. Bagaimana mereka akan sayang, kenalpun mereka tidak.  Mereka butuh pengenalan dengan cara mereka, cara yang mereka suka bukan cara kita generasi pendahulu, yang kadang langsung menilai bahwa anak-anak muda sekarang tak tahu adat. Kita lupa bila yang menyebabkan mereka tak tahu adat adalah generasi sebelumnya yang tidak mentranfer pengetahuan tentang kebudayaan kepada generasi muda.

Kebudayaan kita termasuk budaya yang maju, kebudayan kita memiliki aksara sebagai wujud dari kemajuan literasi mereka pada zaman dahulu. Puisi tertua pun ditemukan di negri kita. Betapa ini bukti bahwa nenek moyang kita sungguh luar biasa. Bila kita perhatikan candi Borobudur kita akan merenung tentang kehebatan nenek moyang kita, pada abad ke 8 sudah bisa membuat bangunan begitu megah. Candi Prambanan yang dibangun pada abad ke 9 juga sangat indah dan megah, sayangnya generasi muda pada awal pengenalan mereka pada candi prambanan adalah cerita tentang kesaktian Bandung Bandawasa yang sanggup membuat candi dalam waktu semalam. Cerita hebat ini nyatanya membagi mereka menjadi dua kubu, kubu yang terkagum-kagum dan sangat mempercayai cerita itu lalu beranggapan betapa saktinya orang dahulu dan kita yang sekarang tidak mungkin bisa seperti mereka. Kubu yang satu adalah kubu yang tidak bisa percaya cerita semacam itu, lalu menganggap cerita itu adalah hayalan, lebih parahnya ada yang menganggap bila kebudayaan kita lebih dekat dengan hal yang tak masuk diakal maka tinggalkan saja. Sangat sedikit yang berpikir mengapa dulu nenek moyang kita begitu hebat bisa membuat bangunan megah, tehnologi apa yang mereka gunakan, bagaimana cara berpikirnya hingga bisa tercipta kemegahan itu. Pemikiran generasi muda itu timbul dari umpan yang kita berikan.

Dua pertiga naskah jawa kuno masih ada di Belanda menjadikan kita berpikir bila sebenarnya kebudayaan kita sangat menarik. Kolonial pada waktu itu berusaha menjauhkan kita pada budaya sendiri agar kita tak punya jati diri sehingga mudah untuk dipengaruhi. Silahkan baca cerita-cerita pada zaman dahulu tentang penggambaran  orang desa. Orang desa digambarkan sebagai orang yang malas, bodoh. Pengambaran ini melekat sehingga kita mengasosiakan orang desa seperti gambaran para penulis itu. Cara ini efektif mengirim anak-anak muda pergi ke kota enggan membangun desa, meninggalkan kebudayaanya. Kondisi ini yang sedang terjadi pada generasi muda. Apabila kita terus membiarkan hal ini berlanjut tidak ada upaya mendekatkan kebudayaan sendiri pada generasi muda, kasihan mereka akan kehilangan jati diri.

Pelestarian kebudayaan daerah mestinya secara menyeluruh tidak hanya tampak luarnya saja. Pertunjukan-pertunjukan kebudayaan daerah digelar secara spektakuler namun nilai- nilai kebudayaan yang melatari kesenian daerah itu muncul tidak dikelola dengan baik. Generasi yang terbiasa melihat permukaan suatu masalah pada akhirnya hanya akan melanjutkan pertunjukan sebagi rutinitas tanpa makna. Tentulah berbeda bila ada pemahaman mendalam terhadap pagelaran maka generasi penerus akan mencintai budaya dengan hati, pikir dan inderanya.

Media digital dan social media yang saat ini sangat digemari anak muda mestinya dimanfaatkan untuk mengenalkan generasi muda kepada budayanya. Setelah Konggres Aksara Jawa di Yogyakarta maret kemarin, pengenalan aksara jawa untuk pengetikan di HP mulai dilakukan. Ini salah satu upaya untuk mengenlkan aksara jawa pada generasi pemegang gawai. Adanya organisasi masyarakat yang intens memproduksi konten bersumber dari budaya jawa juga sebagai upaya untuk mengenalkan kebudayaan jawa kepada generasi muda.

Solo Bersimfoni, salah satu organisasi yang mengangkat nilai budaya jawa untuk kaum milenial, aktif sekali memproduksi konten medsos bertajuk Hasthalaku, Nilai- nilai tersebut adalah guyub rukun , gotong royong, tepa selira, , ewuh pekewuh, pangerten, grapyak semanak, lembah manah, andhap asor. 

Guyub rukun secara bahasa berasal dari kata berguyub yang bermakna berkumpul, berkelompok, yang dapat bermakna pula sebagai rukun. Guyub sendiri dapat bermakna kebersamaan sedangkan rukun bermakna keselarasan, kehidupan tanpa adanya perselisihan, pertikaian dan konflik. Apabila digabungkan maka istilah guyub rukun merupakan sebuah kondisi situasi yang damai, selarah tanpa adanya pertikaian yang dijaga secara bersama-sama. Konsep guyub rukun dalam jawa yang dipaparkan oleh Suseno merujuk pada kata rukun yang berarti keselarasan, keadaan yang damai, suka bekerja sama, saling membantu, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan daam kehidupan sosial. Masyarakat jawa memandang, permasalahan tidak terletak pada penciptaan keadaan keselarasan sosial melainkan lebih kepada tidak menganggu keselarasan yang sudah ada.

Budaya jawa mengenal pepatah rukun agawe santosa crah agawe bubrah yang bermakna bahwa kerukunan akan menciptakan kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan, sedangkan pertikaian akan menciptakan perpecahan dan disharmoni antar sesama. Guyub rukun digambarkan sebagai situasi ideal dimana masyarakat hidup dalam keharmonisan, bukan karena semua sama tetapi mampu menyelaraskan keberagaman ke dalam satu stuasi yang diperjuangkan bersama. Guyub rukun hanya dapat dicapai jika keseluruhan komunitas masyarakat menjaga kestabilan dan keharmonisan.

Gotong royong berasal dari bahasa jawa dari kata gotong yang artinya memikul atau mengangkat dan royong yang artinya bersama-sama. Menurut KBBI, gotong royong adalah bekerja bersama-sama secara tolong menolong, bantu membantu, dalam Bahasa Inggris gotong royong disebut sebagai mutual assistance. Gotong royong merupakan istilah asli Indonesia yang menjadi landasan smangat membangun bangsa. Presiden Sukarno menyampaikan makna Gotong Royong sebagai pembanting tulang bersama,pemerasan keringat bersama, dan perjuangan bantu-membantu bersama. Karena pentingnya gotong royong, pemerintah RI pernah mengadopsinya kedalam nama kabinet pemerintahan era ordelama. Gotong royong sesuai dengan definisi Aristoteles tentang manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia lain. Koentjaraningrat membagi gotong royong menjadi dua jenis, gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti. Gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, rumah tangga, hajatan atau pesta, perayaan serta peristiwa bencana. Gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu yang untuk kepentingan umum seperti bersih desa.

Gotong royong mustahil dilakukan jika dalam diri masyarakat tidak ada rasa empati atau saling mengasihi. Gotong royong perlu tetap dipupuk dan dipelihara sebagai nilai kekayaan bangsa meskipun zaman berkembang secara cepat.

Tepa selira merupakan sebuah konsep masyarakat jawa dalam bersikap dimana tindakan yang dilakukan oleh seseorang akan diterima atau dirasakan oleh orang lain. Tepa selira sendiri berarti bercermin diri, misal kita tahu bila ditampar itu sakit maka janganlah menampar orang lain. Konsep tepa selira memiliki padanan dengan konsep tenggang rasa. Sikap tenggang rasa adalah suatu sikap hidup dalam ucapan, perbuatan, tingkah laku yang mencerminkan sikapmenghargai dan menghormati orang lain. Setiap orang harus mampu bergaul dengan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Melalui sikap tenggang rasa, kita dapat merasakan atau menjaga perasaan orang lain.

Ewuh pekewuh terkait dengan perilaku kesopanan seseorang.Indikator kesopanan orang jawa adalah tidak melakukan penolakan pada perintah atau permintaan seseorang. Ewuh pekewuh dapat muncul akibat individu sudah mengenalatau banyak menerima suatu kebaikan dari orang lain sehingga bagi individu itu akan sulit untuk menolak atau mengabaikan permintaan orang tersebut. Ewuh pekewuh biasanya cenderung dihadapi orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua.

Soeharjono (2011) mendefenisikan ewuh pekewuh sebagai sikap sungkan atau rasa segan serta menjunjung tinggi rasa hormat. Menurut Tobing (2010), ewuh pekewuh yang merupakan nilai dalam masyarakat Jawa terdiri dari beberapa prinsip yang sangat erat hubunganya dengan aspek-aspek dalam ewuh pekewuh, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Saling menghargai di dalam kehidupan bermasyarakat akan membawa kerukunan,ketenangan, perdamaian di dalamnya sehingga membawa persatuan bangsa.

Di dalam budaya Jawa, pangerten adalah kunci utama dari kehidupan bermasyarakat. Pangerten yang dalam bahasa Indonesia berarti pengertian atau peka akan kondisi sesama merupakan halyang tidak bisa dipisahkan dari diri kita sebagai manusia. Manusia diciptakan oleh tuhan dengan berbagai perbedaan. Sebagai masyarakat yang majemuk, masing-masing anggota masyarakat dituntut untuk dapat hidup dengan orang lain yang memiliki perbedaan tersebut. Perbedaan yang ada dalam masyarakat mestinya dipandang sebagai rahmat Tuhan. Sikap pangerten digunakan untuk memahami perbedaan tanpa perselisihan.

Grapyak artinya seneng aruh-aruh dan semanak berarti hangat dan mudah akrab. Grapryak Semanak  ditunjukan dengan kebiasaan untuk menyapa kepada orang yang dikenal maupun orang yang ditemui. Sikap grapyak semanak adalah sikap pada diri sesorang yang akrab dan menyenangkan dalam pergaulan seperti suka senyum, sopan dan hormat dalam pembicaraan, suka menyapa, suka membantu tanpa pamrih. Sikap grapyak semanak dapat menjadikan orang yang baru saja ditemui merasa nyaman dan tidak terasing serta dapat mencairkan suasana dalam kebuntuan komunikasi. Sikap grapyak semanak perlu dikembangkan dalam kehidupan sehari- hari, agar memberi manfaat bagi lingkungan sekitar.

Lembah manah adalah sikap seseorang yang tidak merasa lebih dari orang lain. Seseorang dengan sikap lembah manah dapat memposisikan dirinya sama dengan orang lain, tidak merasa lebih pintar, mahir atau menyombongkan jabatan yang dimilikinya sehingga dapat menghargai orang lain. Seseorang yang memiliki sikap lembah manah tidak akan bersikap sombong, relativ rendah hati memandang orang lain sama sebagai ciptaan Tuhan yang wajib dihargai dan dihormati. Sikap lembah manah suatu sikap yang sangat perlu untuk dikembangkan dalam kehidupan agar manusia terhindar dari gaya hidup pamer yang berujung pada terlilit hutang.

Andhap asor tidak berarti rendah diri tetapi rendah hati. Sikap Andhap asor adalah sikap seseorang tidak membedakan golongan, pangkat kedudukan maupun kekayaan. Orang yang bersikap andhap asor tidak mau menonojolkan diri meskipun sebenarnya ia memiliki kemampuan. Orang Jawa sangat mengutamakan sifat andhap asor bila berhubungan dengan orang lain. Orang yang bersikap Andhap asor justru akan dihormati oleh orang lain dari pada orang yang menganggap remeh orang lain, maka dia akan diremehkan.

Nilai-nilai budaya jawa telah terbukti dan teruji untuk menyatukan majapahit tatkala itu. Saat tekhnologi komunikasi tidak sebagus sekarang, para pendahulu menggunakan nilai – nilai kebudayaan jawa sebagai alat pemersatu. Maka kita berbenah untuk menggali nila-nilai budaya Jawa untuk pijakan persatuan bangsa, kembali digaungkan di medsos agar generasi milenial lebih dekat dan lebih memahaminya. Saat kita sudah kuat dengan pemahaman budaya sendiri tentu kita akan sangat percaya diri berdialog dengan yang lainya tentang keragaman budaya. Memahami budaya sendiri bukan untuk menunjukan budaya kita lebih unggul namun untuk mengenal dan mengetahui adat tatakrama yang harus kita lakukan sebagai ciri pribadi kita. Setelah kita memahami budaya sendiri akan lebih mudah kita memahami budaya yang lainya. Bisa beriringan berjalan dalam keragaman, dalam persatuan.

Tulisan ini terpantik dari  peringatan Hari dialog  dan pengembangan perbedaan Budaya Sedunia keragaman budaya pada tanggal 21 mei

 

Penulis : Yuliyanti Dewi Untari, S.Pd
Sahabat Simfoni dan Guru Bahasa Jawa SMAN 1 Surakarta

Pernah dimuat di Harian Solopos
Tanggal : Rabu, 2 Juni 2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *