Close

December 12, 2021

Muslimah Milenial Reformis Solo Gelar Acara Peluncuran Buku dan Forum Lintas Iman

Minggu, 5 Desember 2021 telah berlangsung acara Launching dan Kongkow Milenial Reformis #2 yang membedah buku antologi tulisan berjudul “Wajah Damai Milenial Reformis: Gerakan Kece Menebar Keadilan Gender untuk Indonesia Maju” di Warteg Bolodewe, Manahan. Acara ini sukses terselenggara berkat dukungan dari media partner yaitu Solo Bersimfoni, Peace Generation, PMII, HMI, IMM dan Pemuda Lintas Iman Surakarta.

Para penulis buku merupakan alumni Pelatihan Milenial Reformis yang diselenggarakan oleh Yayasan Mulia Raya selama Bulan Maret-September 2021 di enam kota yakni Jakarta, Yogyakarta, Tasikmalaya, Solo, Bandung dan Sidoarjo. Buku karya peserta pelatihan tersebut kemudian diluncurkan dan dibedah secara bertahap di enam kota, Solo salah satunya.

Acara peluncuran buku yang diinisiasi oleh Muslimah Milenial Reformis Solo dan didukung oleh Yayasan Mulia Raya ini mengusung tema “The Spirit of Milenial: Pasrtisipasi generasi Muda dalam Aksi Sosial dan Menjaga Kerukunan Umat Beragama”. Merujuk pada tema utama yang diangkat, Muslimah Milenial Reformis Solo mendatangkan tiga narasumber yang pakar pada bidangnya, di antaranya adalah Prof. Musdah Mulia, M.A. selaku founder Yayasan Mulia Raya dan aktivis hak asasi perempuan. Milenial Reformis Solo juga mendatangkan Denok Marty Astuti, S.E., (aktivis lingkungan dan Ketua Komunitas Bank Sampah Kerja Nyata Solo Raya) dan Mokhamad Zainal Anwar, S.H.I., M.S.I. (Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan/LP2M UIN Surakarta).

Musdah Mulia, dalam pemaparan materi pertama menjelaskan mengapa seorang muslimah, ia menjelaskan bahwa muslimah bermakna perempuan aktif dan dinamis yang senantiasa berupaya merajut damai sesuai tuntunan al-Qur’an dan sunnah. Kemudian mengapa milenial? Karena generasi milenial sebagai sumber daya potensial, di sisi lain justru menjadi kelompok yang paling rentan terpapar hoax, sehingga perlu diadakan upaya-upaya sosialisasi dan pendidikan anti hoax bagi kelompok ini.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sesungguhnya kata reformis ini adalah terjemahan dari kata Bahasa Arab yakni muslihah yang seakar dengan kata shalihah, dapat berarti perempuan aktif, teguh melakukan upaya-upaya reformasi demi memperbaiki dan meningkatkan kualitas diri, keluarga dan masyarakat demi terwujudnya baldatun thayyibah wa rabbun ghafur.

Pada titik inilah kemudian Muslimah Milenial Reformis menemukan titik peran strategisnya sebagai agen perubahan yang berlandaskan pada nilai-nilai keislaman dan kemaslahatan. Musdah Mulia menambahkan bahwa dalam buku ini merefleksikan tiga pesan moral Milenial Reformis, pertama, pentingnya milenial memperkuat kesadaran spiritualitas, kemanusiaan dan kebangsaan guna mengasah empati kemanusiaan serta membebaskan masyarakat dari jebakan fundamentalisme dan radikalisme yang menjadi akar dari aksi-aksi intoleran hingga aksi teror yang merugikan manusia.

Kedua, pentingnya milenial menguasai literasi digital agar mampu memanfaatkan media sosial secara cerdas dan bijak sebagai sarana edukasi dan penyebaran nilai-nilai keberagamaan yang ramah. Milenial juga sudah seyogyanya menjadikan media sosial sebagai wadah mengampanyekan konten-konten terkait isu keadilan gender, isu kebangsaan, isu perawatan lingkungan serta meng-counter narasi hoax sehingga masyarakat terhindar dari kejahatan hoax dan fitnah. Ketiga, pentingnya milenial membekali diri dengan pengetahuan, wawasan serta keterampilan yang bermanfaat agar dapat mandiri, kreatif, produktif dan aktif dalam gerakan-gerakan sosial kemanusiaan.

Dalam pemaparan materi kedua, Kepala Pusat Penelitian dan Penerbitan/LP2M UIN Surakarta, Zainal Anwar mengatakan bahwa di luar sana masih banyak pemuda yang memiliki bibit cara pandang yang cenderung radikal. Ia menyampaikan bahwa beberapa pemuda memiliki pandangan bahwa tidak perlu mengikuti Pancasila, meskipun cara pandang seperti ini tergolong minoritas. Oleh karenanya, ia mengapresiasi kemunculan Muslimah Milenial Reformis karena Milenial Reformis sebagai pionir anak muda yang speak up mengenai isu-isu sosial, kebangsaan, kesetaraan, dan lain-lain. Moderasi beragama harus lebih digalakkan lagi di kalangan milenial.

Berlanjut ke pemaparan materi ketiga yang disampaikan oleh Denok Marty Astuti sebagai seorang aktivis lingkungan Ketua Komunitas Bank Sampah Kerja Nyata Solo Raya. Ia menyampaikan bahwasanya membincang isu lingkungan, sesungguhnya adalah tentang hal-hal sederhana yang lekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Membincang isu lingkungan, tidak selalu harus membahas hal-hal rumit semacam perubahan iklim, kepunahan satwa atau fauna tertentu dan hal ‘berat’ lainnya. Namun, berbicara mengenai isu lingkungan adalah berbicara tentang ruang di mana kita hidup di dalamnya.

Ia menjelaskan lebih jauh jika sudah saatnya milenial berkontribusi secara aktif dalam pengelolaan sampah. Tak menutup kemungkinan di masa depan, terbukanya lapangan pekerjaan baru seperti tukang sampah intelektual, seorang tukang sampah yang mengelola sampah menjadi suatu hal yang lebih maslahat dalam ceruk-ceruk gerakan kolektif akar rumput yang dapat diinisiasi oleh anak muda.

Persoalan sampah bukan hanya persoalan umat Islam atau umat Katolik saja tapi urusan & tanggung jawab semua umat manusia. Pengelolaan sampah tidak mengenal agama, karena baik yang Konghucu, Kristen, Katolik, Islam, Hindu atau Buddha sekalipun akan tidak berdaya jika dihadapkan dengan bencana alam akibat kecerobohan manusia dalam mengelola sampah dan limbah. Ia menegaskan bahwa tidak boleh ada kekerasan di antara sesama manusia, pun juga terhadap lingkungan hidup.

Muslimah Milenial Reformis sebagai salah satu agen dan promotor toleransi, telah membuktikan komitmennya dengan menghadirkan pemuda lintas agama dan para pemuka agama di wilayah Soloraya. Selain itu, Muslimah Milenial Reformis juga memadukan unsur kesenian tradisional, modern dan juga tarian sufi dalam rangkaian acara.

Dalam hal ini, unsur kesenian tradisional terwakilkan dengan penampilan Tari Bambang Cakil oleh Komunitas Akusara Art Surakarta. Unsur kesenian modern nampak dalam penampilan istimewa dari Boys Accoustic Surakarta. Sementara tarian sufi atau whirling dervishes ditampilkan oleh Sirod Tasawuf Psikoterapi UIN Raden Mas Said Surakarta. Perpaduan tiga kesenian ini membentuk suatu harmoni yang menambah semarak acara.

Di akhir sesi, moderator acara menyampaikan kesimpulan dari pemaparan masing-masing narasumber bahwa milenial harus memperkuat dan menguasai literasi keagamaan, literasi lingkungan hingga literasi digital demi mewujudkan masyarakat unggul dalam menjalankan fitrah manusia sebagai khalifah fil ardh yang menjaga serta merawat Planet Bumi melalui gerakan dan aksi-aksi sosial kemasyarakatan. [Lutfi Maulida, Muslimah Milenial Reformis Soloraya]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *