Close

November 1, 2024

BHINEKA TUNGGAL IKA ADALAH KITA (MERAJUT PERSATUAN DENGAN BENANG HASTHALAKU)

“Bhineka Tunggal Ika bukan hanya semboyan, tetapi sebuah komitmen untuk hidup berdampingan dengan damai. Mari kita wujudkan bersama dengan hasthalaku.”

Menjadi wali kelas X atau kelas 1 SMA adalah salah satu ujian kesabaran sesungguhnya bagi seorang guru SMA. Juni 2022 awal tahun pelajaran baru, saya diberi tugas tambahan menjadi wali kelas lebih tepatnya menjadi wali kelas X. Saya yang terbiasa menjadi wali kelas XII atau kelas XI sontak mengeluh dalam hati “Lah malah dadi wali kelas X ki pie ngko”. Pada akhirnya saya memilih tersenyum alih-alih menangis menerima tugas tambahan menjadi wali kelas X yang bisa dipastikan akan banyak cerita selama setahun kedepan.

Menjadi Istimewa: Agama, Usia dan Suku

Benar dugaan saya sebelumnya, cerita akan banyak muncul di kelas. Kelas X yang saya dampingi adalah kelas “istimewa”. Saya menyebutnya demikian karena beberapa hal. Pertama, sebagian besar masuk melalui Zonasi Khusus. Selain berasal dari kecamatan yang tidak ada SMA/K Negeri, salah satu syaratnya adalah usia yang lebih tua dibandingkan pendaftar lainnya.  Di kelas saya, lima dari 35 murid berusia tujuh belas tahun, sedangkan rata-rata usia murid pada kelas X adalah lima belas sampai enam belas tahun. Perbedaan usia ini membawa cerita seru.

Yang kedua, jika kelas lain paling banyak terdapat dua agama, di kelas ini menganut lima agama. Terdiri dari 14 bergama Islam, 11 beragama Kristen, 8 beragama Katholik, dan sisanya masing-masing satu murid beragama Hindu dan Budha. Perbedaan agama ini membawa warna tersendiri di kelas.

Perbedaan usia dan agama ternyata saling bertaut dengan perbedaan latar belakang dari masing-masing murid di kelas. Tidak perlu banyak waktu sampai saya mengetahui latar belakang beberapa murid-murid di kelas saya. Sebagaian besar murid saya berasal dari suku jawa tapi yang menarik ada murid saya berasal dari Bali dan sengaja datang ke Sragen untuk bersekolah di SMA Juara. Beberapa murid lainnya memiliki latar belakang keluarga dari Indonesia Timur. Perbedaan latar belakang keluarga dari tiap murid ini juga membawa keistimewaan bagi kelas saya.

Aku, Kamu, Dia adalah Kita.

Sik bentar jangan diputuskan dulu, lha wong dia gak dari Jawa kan gak paham Hasthalaku itu apa, masa mau dijadikan  sama wakil kelas kita  buat ikut Mbak Mas SMA Juara yang nanti bakalan jadi duta Hasthalaku!”

“Kalau yang calon satunya juga kayaknya gak meyakinkan deh, kan dia juga gak terlalu tinggi….ehem agak pendek gak sih dia?”

Heleh apa kamu bisa?!”

“Aku gak yakin juga kamu bisa!”

“sstttt….sudah lah dari  kita ini diskusi cari solusi bukan malah saling berselisih gini!”

Sejenak saya mendengar perdebatan dari depan ruang kelas, saya yakin perdebatan yang terjadi pasti sudah cukup lama. Begitu saya membuka pintu ruang kelas suasana kelas menjadi hening. Berpura-pura tidak mendengarkan apa yang telah terjadi barusan, saya menyapa mereka dan bersiap untuk memulai sesi pendampingan Wali Kelas, kegiatan rutin setiap Jumat.

Saat akan dimulai sesi pendampingan, Celine si ketua kelas meminta ijin menyampaikan perihal perselisihan yang terjadi pagi tadi. Saya menyimak semua informasi dari Celine dan memberikan waktu bagi dia untuk menyampiakan semua data dan fakta apa yang terjadi di kelas.

Sebentar lagi akan ada kegiatan tahunan di SMA Juara dengan berbagai perlombaan dan kejuaraan dimana salah satunya adalah pemilihan Mbak dan Mas SMA Juara sebagai Duta Hasthalaku. Celine mengungkapkan bagaimana perselisihan yang terjadi di kelas tentang siapa yang layak untuk mewakili kelas dalam pemilihan Mbak dan Mas SMA Juara. Terdapat beberapa kandidat, tetapi hampir satu minggu belum ada titik temu siapa yang akan mewakili kelas bahkan berujung kepada kondisi kelas yang tidak nyaman karena adanya perselisihan

Setelah Celine selesai menyampaikan informasi kelas, dilanjutkan Al, teman kelas yang lain berpendapat bahwa sebaiknya yang berasal dari Jawa saja yang mewakili Mbak dan Mas SMA Juara. “Hasthalaku kan falsafah Jawa jadi yang lebih paham orang Jawa”, tambahnya. Pendapat Al dibantah oleh Ella yang mengatakan meski hasthalaku berasal dari falsafah Jawa tapi nilai-nilai hasthalaku itu universal dan tidak khusus hanya bagi orang Jawa saja. Pernyataan Ella diaminkan oleh hampir sebagian besar murid di kelas. Resti mengatakan waktunya menunjukkan kalau kelas ini sudah benar-benar menerapkan nilai hasthalaku. “Nilai-nilai hasthalaku yang menjadikan kita kuat dalam perbedaan”, tambahnya.

Saya mengambil alih pembicaraan dan diskusi menarik mereka karena waktu pembinaan wali kelas hanya 30 menit. Saya bertanya kepada murid-murid di kelas bagaimana kesimpulannya. Resti menjawab bahwa dia dan teman-teman di kelas akan bergotong royong mempersiapkan sebaik mungkin untuk mengikuti rangkaian kegiatan perlombaan sekolah. Resti murid yang dewasa dalam usia dan pemikiran dibandingkan teman lainnya di kelas. Dia mengajak teman sekelas untuk bersama-sama mempersiapkan untuk mengikuti perlombaan dan pemilihan Mas dan Mbak SMA Juara sebaik mungkin.  Di akhir diskusi, Resti menyampaikan kata-kata yang menyentuh hati saya dan murid-murid lainnya. “Sudahi tentang Aku, Kamu dan Dia karena sekarang adalah waktunya untuk Kita”, katanya sembari menutup diskusi.

Indonesia dan Es Krim

Senin, akhir bulan Mei, saya mengajak kelas saya untuk belajar Sejarah. Kebetulan materi akhir semester adalah tentang asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia. Saya mengajak mereka untuk belajar bagaimana Indonesia dengan letak geografis yang strategis membawa pengaruh terhadap jalur perdagangan dan hal ini berdampak bagi perkembangnya kebudayaan yang sangat beragam. Proses interaksi antar berbagai kelompok etnis, agama dan budaya di Indonesia membentuk Indonesia menjadi negara yang unik.

Saya menyampaikan dengan perumpaan yang sederhana bagi mereka, bahwa kondisi Indonesia seperti es krim dengan rasa yang bermacam-macam yang kemudian meleleh dan menyatu dalam sebuah wadah. Es krim adalah kelompok etnis, agama, budaya dan wadahnya adalah Indonesia.

Secara berkelompok saya meminta mereka untuk mempelajari tentang bagaimana akhirnya Indonesia bisa bertahan dengan keragaman identitas mulai dari sebelum kemerdekaan sampai pada masa sekarang. Di akhir sesi pembelajaran, saya meminta refleksi dari siswa tentang pembelajaran yang telah mereka lakukan.

Celine dengan semangat menjadi perwakilan kelas berpendapat bahwa perbedaan yang ada di Indonesia dijaga dengan baik sehingga meski rawan konflik, Indonesia masih bisa bersatu sampai sekarang. “Kayak di kelas ini meski berbeda agama, beda suku tapi bisa menjaga dengan baik saling pengertian selalu bergotong royong meski kadang konflik juga ada”, katanya. Celine juga mengatakan bahwa sikap saling mengerti, saling guyup rukun dan selalu bergotong royong yang membuat kelas ini bisa menang, “Perwakilan kelas kita terpilih jadi Mbak SMA Juara meski bukan orang jawa”, tambahnya.

Di akhir pembelajaran, saya mengajak semua murid untuk menyimpulkan bahwa keberagaman adalah sebuah keniscayaan karena setiap manusia itu unik. Menghargai perbedaan adalah sebuah kewajiban kita sebagai menusia untuk memanusiakan manusia. Dengan nilai-nilai hasthalaku kita rajut perbedaan itu menjadi indah. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekedar semboyan tapi Bhineka Tunggal Ika adalah Kita.

Penulis: Atik Dwi Kurniasih – Waka Kesiswaan SMAN 3 Sragen

Juara Kedua Lomba Artikel Gelar Karya Sekolah Adipangastuti Tahun 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *