Sego Berkat, Hasthalaku dan Gaya Hidup Yang Tertukar
Sejak pandemi, ada satu fenomena yang merebak di masyarakat yaitu banyaknya orang berbondong-bondong menapaki dunia perniagaan. Dari sekian banyak produk yang ditawarkan di grup whatsapp saya, salah satu yang saya temui adalah Sego Berkat, kuliner khas Wonogiri yang terdiri dari nasi beserta uborampe-nya yaitu beberapa iris daging sapi, oseng tempe, sambel goreng kentang dan taoge.
Makanan ndeso ini mampu menyita perhatian para pecinta kuliner, karena rasa dan aroma nasi (sego) yang khas dibalut daun jati sebagai pembungkusnya. Kuliner klasik nan filosofis ini tiba-tiba menjadi menu hits yang banyak ditawarkan oleh para pedagang baik online maupun offline. Menu ini mampu menembus semua segmen dan lapisan masyarakat, tidak ada sekat sosial yang menjadi penghalang bagi sego berkat untuk mendarat cantik di lidah para pecinta kuliner tradisional.
Di daerah saya Wonogiri, sego berkat kerap disajikan ketika ada hajatan di sebuah kampung. Nasi berkat dikirimkan oleh tuan rumah atau orang yang punya hajatan (gawe) kepada tamu dan kanca gawe, yaitu para tetangga dan handai taulan yang membantu (rewang) selama hajatan berlangsung.
Rewang adalah istilah untuk kegiatan bantu-membantu antar tetangga kepada yang sedang menyelenggarakan acara hajatan, suatu budaya gotong-royong masyarakat yang sangat kental di daerah pedesaan. Mereka bahu-membahu mencurahkan tenaga dan waktunya demi sang tetangga yang sedang punya gawe.
Bukan hanya untuk satu dua hari, hajatan seperti ini bahkan bisa berlangsung selama satu minggu sebelum resepsi diadakan. Mereka memulai pekerjaan dengan menampi beras, mengumpulkan kayu bakar, membuat pagar serta pekerjaan lain untuk mempersiapkan acara spesial si tetangga agar hajatan berjalan dengan lancar.
Sego berkat juga mengandung filosofi yang melekat kuat dalam akar budaya masyarakat desa, khususnya Wonogiri. Dalam sebungkus sego berkat tertanam pesan untuk saling berbagi rizki dan bersedekah. Sego berkat juga mengandung simbol solidaritas antar warga yang merupakan implementasi dari nilai-nilai hasthalaku. Hasthalaku adalah delapan tingkah laku yang harus dipegang teguh dan dilaksanakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Sikap ini meliputi : Tepa Selira, Lembah Manah, Andhap Ashor, Grapyak Semanak, Gotong Royong, Guyub Rukun, Ewuh pekewuh dan Pangerten. Sego berkat mampu memecah kebuntuan komunikasi masyarakat yang terpisah oleh perbedaan kasta dan jurang status sosial.
Namun kini di desa-desa, sego berkat tak lagi bisa kita temui saat ada hajatan. Si empunya hajat lebih memilih kertas minyak atau tempat nasi dari plastik sebagai alat mengemas makanan yang akan dikirim ke tetangga dan saudara. Selain sulit didapat, daun jati yang dulunya menjadi pembungkus sego berkat kini dinilai kurang praktis dan estetis. Mereka juga merasa seolah tak ketinggalan dengan kemajuan jaman karena menggunakan jenis pembungkus yang baru. Hal ini saya ketahui ketika terlibat perbincangan dengan beberapa warga pada saat saya ikut rewang.
Sebaliknya saat ini banyak masyarakat urban justru sedang gencar mengkonsumsi dan memakai produk tradisional sebagai sebuah gaya hidup. Penggunaan atribut bernuansa tradisional juga dipandang sebagai tren. Bukan hanya sego berkat, contoh produk lain yang sering saya temui adalah berbagai makanan olahan dari thiwul (sejenis makanan khas Wonogiri berbahan tepung singkong). Thiwul kini marak ditawarkan oleh produsen makanan, dengan polesan yang lebih modern seperti pilihan varian rasa dan warna yang beraneka rupa. Mereka berusaha mengangkat martabat thiwul yang dikenal sebagai makanan wong ndesa menjadi primadona dalam dunia kuliner. Begitu juga dengan penggunaan pakaian tradisional seperti lurik dan motif jumputan yang saat ini sangat populer bahkan dijadikan sebagai bagian dari seragam kantor.
Di masa sekarang ini mengangkat unsur kearifan lokal dipandang sebagai sebuah bentuk gaya hidup yang memiliki nilai tersendiri. Sama halnya dengan perilaku hype yang sering kita temui di masyarakat kelas tertentu yang menggunakan perabotan atau alat-alat penunjang aktivitas sehari-hari yang diklaim eco friendly (ramah lingkungan).
Berbeda dengan masyarakat kota berbondong-bondong menerapkan gaya hidup dengan mengangkat unsur kearifan lokal, sebaliknya masyarakat desa kini justru mulai meninggalkan budaya klasik yang dulu menjadi cita rasa khas dan mewarnai kehidupan sosial mereka. Mereka mulai mengganti kebiasaan hidup yang berbau tradisional menjadi lebih modern. Tak bisa dipungkiri arus informasi yang deras dari media sosial telah banyak mengubah gaya hidup masyarakat desa mulai dari fashion, kuliner, hingga tempat nongkrong yang ngehitz.
Dari pembicaraan saya melalui telepon dengan salah satu saudara di Wonogiri, saya baru tahu ternyata sekarang di desa-desa banyak orang yang memiliki usaha jastip (jasa titip). Orang-orang yang sering bepergian ke kota menawarkan jasa untuk membelikan makanan atau barang yang tidak bisa didapatkan di daerah mereka. Dengan tambahan sekian rupiah-biasanya tergantung harga barang yang dititip beli dan jarak lokasi pembelian- sebagai biaya jastip, para pengguna jasa ini sudah bisa mendapatkan barang-barang yang diinginkannya. Sebut saja donat J’Co, burger McD, pempek Nyonya Kamto atau pakaian bermerk terkenal yang hanya ditemui di pusat perbelanjaan di kota-kota besar. Perubahan gaya hidup masyarakat desa yang beralih menjadi kekota-kotaan ini telah menggerus sedikit demi sedikit budaya lokal yang dulunya begitu kental.
Pertukaran gaya hidup antara masyarakat desa dan kota adalah sebuah gejala perilaku sosial yang unik sebagai akibat dari keinginan manusia untuk menjadi bagian kemajuan zaman. Dari sego berkat dan pertukaran gaya hidup ini kita bisa berefleksi bahwa jaman boleh maju, peradaban boleh berubah, namun nilai-nilai Hastalaku tak boleh luntur dari kepribadian kita sebagai bangsa yang berbudaya.
Penulis : Asri Pujihastuti, S.Pd.
Sahabat Simfoni dan Guru SMKN 7 Surakarta