Milenial dan Benteng Penangkal Radikalisme
Hari-hari kelabu menutup bulan Maret 2021. Saat masyarakat muslim di Indonesia tengah bersiap menyambut datangnya bulan suci Ramadan, kita dikejutkan oleh peristiwa memilukan sekaligus memalukan. Sebuah bom meledak di gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan di Minggu pagi yang cerah, saat para jemaat gereja sedang khusyu’ menjalankan ibadah. Kejadian ini sungguh memilukan karena hingga kini masih saja terjadi aksi kekerasan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan banyaknya orang terluka. Namun kejadian ini juga memalukan, karena hampir di setiap kejadian bom bunuh diri si pelaku membawa atribut yang kental dengan identitas seorang muslim. Meski banyak narasi mengatakan bahwa teroris bukan Islam dan tidak memiliki sangkut paut dengan agama manapun, namun seperti sudah menjadi stigma di mata masyarakat bahwa para pelaku bom bunuh diri adalah mereka yang melakukan aksinya dengan membawa misi jihad.
Terduga pelaku bom bunuh diri tersebut adalah seorang pemuda berusia 25 tahun yang dengan sengaja meledakkan dirinya saat memasuki gereja Katedral. Akibat kejadian itu banyak jemaat gereja yang mengalami luka-luka. Pelaku disebut-sebut sebagai bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan kelompok negara Islam atau Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS). Tak berselang lama, tepatnya tiga hari setelah kejadian tersebut lagi-lagi terjadi aksi teror. Kali ini pelakunya adalah seorang perempuan muda yang juga berusia 25 tahun yang nekat seorang diri masuk ke area gedung Mabes Polri. Perempuan lone wolf tersebut sempat menodongkan senjata kepada para petugas yang saat itu tengah berjaga. Pelaku akhirnya dilumpuhkan dengan tembakan jarak jauh dan tewas di tempat. Jika diingat kembali kejadian serupa pernah terjadi di hotel J W Marriott, Jakarta pada tahun 2009 silam saat seorang pemuda berusia 18 tahun melakukan aksi yang sama dengan meledakkan dirinya bersama bom yang ia bawa dalam sebuah tas ransel.
Di dunia yang kini tidak bisa dilepaskan dari internet, para calon martir dari kalangan anak muda ini didekati oleh para teroris dengan memanfaatkan berbagai fasilitas yang begitu mudah didapatkan di media internet. Media virtual ini memudahkan mereka dalam menyampaikan pesan melalui tulisan, video, serta tautan berita – yang tidak jarang berisi disinformasi dan ujaran kebencian. Anak-anak muda ini dibujuk dengan janji masuk surga melalui jalur cepat jika mereka bersedia menjadi ”pengantin”, sebutan bagi para pelaku yang siap mengorbankan jiwanya atas nama jihad. Shortcut to heaven, demikian istilah yang digunakan Al Chaidar seorang peneliti terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh dalam menyebut sebuah ajakan dari para teroris kepada remaja dengan media sosial untuk berjihad. Al Chaidar mengatakan bahwa kelompok teroris dalam empat tahun ini kerap mengincar anak-anak muda. Iming-iming masuk surga dan kemuliaan mati syahid menjadi tawaran menggiurkan bagi para remaja yang kosong dalam ilmu agama. Mengapa kaum milenial cenderung menjadi target empuk para teroris yang mengklaim diri sebagai jihadis? Kaum milenial dari kalangan mana yang berpotensi untuk mereka rekrut? Kaum milenial ini kebanyakan bukan mereka yang telah masuk dalam organisasi keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah, namun mereka adalah remaja yang baru belajar agama dan secara spiritual masih relatif kosong. Mereka adalah para remaja dengan semangat belajar agama yang menggebu dan menjadikan internet sebagai sarana belajar agama secara instan. Akibatnya mereka berguru pada sumber yang salah. Namun demikian tidak menutup kemungkinan remaja yang merupakan alumni pesantren maupun lembaga pendidikan formal dari mana pun tak luput dijadikan target para teroris ini.
Literasi Digital di Usia Rawan Remaja
Masa remaja merupakan masa dimana emosi dan kejiwaan mereka masih labil. Eksistensi dan pencarian jati diri kerap menjadi penyebab mengapa anak-anak muda ini mudah tergiur dan terpapar paham radikal. Para teroris melakukan propaganda dengan membawa agama dan bumbu heroisme sebagai daya tarik untuk memikat hati para pemuda dalam melakukan bom bunuh diri yang mereka anggap sebagai aksi mulia ini.
Sementara itu, anak muda saat ini tak dapat dipisahkan dari media sosial. Konten digital sangat mudah diakses para pengguna internet terlebih ketika masa pandemi seperti saat ini, gawai dan koneksi internet adalah kebutuhan vital dalam melakukan pembelajaran online. Maka tidak heran jika mereka akan banyak menghabiskan waktu di sela-sela aktivitas belajar untuk sekedar bermain game online maupun berselancar di dunia maya. Pada saat itulah mereka dapat dengan mudah menemukan narasi-narasi paham radikal dan intoleran yang disebar di berbagai platform media sosial. Jika intensitas penggunaan media sosial ini tidak diimbangi dengan literasi dan kemampuan berfikir kritis maka anak-anak muda ini akan dengan mudah terpapar paham radikalisme.
Untuk itu penting sekali membekali anak-anak dengan pengetahuan yang luas dan ketrampilan yang baik termasuk dalam bermedia sosial, sehingga mereka akan lebih bijak memandang dan menyikapi segala jenis paham yang mereka temui. Baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Jika anak disiapkan untuk tangguh menghadapi berbagai ‘godaan’ dan hasutan sejak dini, secara mandiri mereka akan dapat menangkal dan tidak mudah terpapar paham ekstrim berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Dan ini sangat penting untuk dilakukan sejak anak-anak belum dikenalkan dengan gawai, artinya peran orang tua di rumah begitu vital dalam memberikan literasi – termasuk literasi digital – kepada anak-anak mereka. Pun ketika anak-anak menginjak usia sekolah, peran pendidik di sekolah menjadi penting dalam mengantarkan mereka mengenal lebih lanjut tanggung jawab dalam bermasyarakat dan bermedia sosial.
Menumbuhkan kepekaan dan toleransi di kalangan remaja
Para remaja tak cukup mendapatkan pengetahuan kognitif untuk bekal hidup, mereka juga membutuhkan soft skill untuk mengembangkan kepekaan terhadap sekitarnya. Mereka harus tanggap dalam menyikapi segala fenomena yang terjadi. Para milenial dituntut dapat berbuat sesuatu yang nyata, tidak hanya pandai beretorika belaka. Milenial perlu diberdayakan agar kapasitas pertahanan diri mereka semakin kuat. Nilai-nilai kemanusiaan dapat ditanamkan melalui keikutsertaan dalam aksi nyata membantu sesama. Lebih jauh nilai-nilai tersebut akan berkembang menjadi sebuah komitmen dalam berkebangsaan. Saat ini banyak aksi nyata yang dilakukan para remaja seperti para anggota OSIS di sekolah yang menggalang dana untuk membantu korban bencana alam di NTT. Banyak juga para influencer yang bisa dijadikan contoh para remaja untuk menunjukkan kepekaan sosial. Contohnya selebgram Rachel Venya dan youtuber Andovi Da Lopez yang mengajak pengikut mereka untuk berdonasi melalui platform galang dana (fundraising platform) kitabisa.com, bahkan mereka terjun langsung ke lokasi untuk memberikan bantuan.
Remaja perlu memiliki kesadaran akan adanya kemajemukan sebagai komponen pemersatu bangsa. Menyikapi perbedaan sebagai sebuah aset kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Bahwa perbedaan tersebut bukan untuk diseragamkan, melainkan agar dapat saling mengisi dan mewarnai. Membiasakan diri menerima perbedaan akan dapat menyuburkan rasa toleransi di hati para remaja. Memanusiakan manusia dengan menerima bahwa semua suku, agama, ras dan golongan adalah setara dan memiliki hak yang sama dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh sikap toleransi ini ditunjukkan oleh para pemuda Solo yang bersama-sama menghasilkan karya tanpa membedakan suku, agama maupun RAS diantara mereka. Ketoprak Solo Bersimfoni adalah salah contoh satu karya para remaja dengan nilai toleransi dalam setiap alur ceritanya yang mendorong perilaku toleransi di kalangan remaja.
Aktualisasi diri remaja melalui organisasi kepemudaan
Berorganisasi merupakan salah satu cara bagi para pemuda untuk mengasah ketrampilan diri, memahami peran dirinya dan orang lain dalam bekerja sama. Pengembangan karakter diri dapat terwujud bersamaan dengan proses interaksi dengan orang lain, mengeksplor ide dan belajar menghargai pendapat orang lain untuk mengambil keputusan bersama. Dengan mengikuti kegiatan organisasi seorang remaja mampu melatih kemampuan kepemimpinan (leadership) dan bertanggung jawab terhadap tugas yang ia emban.
Salah satu contoh baik keterlibatan pemuda dalam kegiatan positif adalah yang dilakukan para relawan Solo Bersimfoni, yang sering disebut dengan Sahabat Simfoni. Relawan dari para milenial dan gen Z di kota Solo yang tergabung dalam organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan perdamaian (raise of peace) dan menjadikan Solo Raya sebagai wilayah yang toleran dan damai. Para Sahabat Simfoni melakukan banyak kegiatan positif dan produktif dengan mengusung dan mengampanyekan nilai-nilai hasthalaku, yaitu delapan laku (sikap) yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Hasthalaku terdiri dari nilai-nilai Gotong royong, Guyub rukun, Grapyak semanak, Lembah manah, Ewuh pekewuh, Pangerten, Andhap asor dan Tepa selira. Sikap kearifan lokal sebagai entitas budaya bangsa yang dapat dikembangkan dalam berbagai aspek kehidupan. Bersama dengan beberapa sekolah menengah di Soloraya, Solo Bersimfoni mengembangkan sekolah Adipangastuti. Model sekolah yang memiliki visi untuk menjunjung nilai hasthalaku yang kemudian diterapkan dalam program sekolah. Target dari kegiatan ini adalah menjadikan peserta didik di sekolah-sekolah tersebut lebih toleran dan dapat menerapkan budaya hasthalaku dalam kehidupan sehari-hari.
Solo Bersimfoni juga memberikan ruang bagi para milenial untuk lebih produktif berkarya sehingga mereka bisa memanfaatkan waktu dengan baik dan tidak akan mudah terpengaruh paham radikal. Berbagai pelatihan untuk memproduksi konten podcast, youtube, tulisan artikel, karya seni visual dan infografis seperti komik film pendek maupun fragmen hasthalaku merupakan beberapa contoh kegiatan yang mereka ikuti – yang sekaligus digunakan sebagai edukasi untuk menyampaikan pesan toleransi kepada masyarakat.
Usaha menangkal bahaya paham radikalisme dan intoleransi harus dilakukan secara masif. Usaha ini tidak cukup terhenti pada kebijakan pemerintah dalam undang-undang dan kerja aparat atau densus 88 saja. Secara guyub rukun masyarakat harus menggalang kekuatan dan pertahanan untuk membentengi para milenial dari paparan paham radikalisme ini. Benteng penangkal radikalisme dapat kita bangun bersama dengan menumbuhkan dan mengimplementasikan nilai-nilai hasthalaku, memperkuat mental dan karakter para milenial, serta membekali mereka dengan literasi dan ketrampilan hidup di era digital. Menanamkan keyakinan bahwa tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan dengan menghilangkan nyawa diri sendiri dan orang lain. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa Nomor 3 Tahun 2004 Tentang TERORISME telah memfatwakan haram bom bunuh diri sebagai bentuk keputusasaan dan mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Dengan menjaga persatuan antar warga serta kerja sama yang solid antara negara dan masyarakat kita berharap tidak ada lagi paham dengan kekerasan yang mengusik kedamaian dan ketentraman bangsa Indonesia.
Penulis
Asri Pujihastuti
Guru dan Pembina OSIS SMKN 7 Surakarta